"Ingatlah wahai istriku, surgamu berada di bawah telapak kakiku….!!, kamu harus taat kepadaku…!!!"
Demikianlah
ucapan yang mungkin terlontarkan dari mulut seorang suami yang menuntut
istrinya agar menjadi seorang istri yang sholehah dan selalu nurut
kepadanya. Ucapan yang dilontarkan suami tersebut adalah perkataan yang
benar. Bukankah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau
seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
seorang yang lain maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud
kepada suaminya” (HR AT-Thirmidzi no 1159, Ibnu Majah no 1853 dan
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat As-Shahihah no 3366))
Pernah
ada seorang wanita yang datang menemui Nabi karena ada suatu keperluan,
lantas Nabi berkata kepada wanita tersebut, هذه أذات بعل ؟ "Apakah
engkau bersuami?", wanita itu menjawab, "Iya". Lantas Nabi bertanya
lagi, كيف أنت له ؟"Bagaimana sikap engkau terhadap suamimu?, wanita itu
berkata, ما آلوه إلا ما عجزت عنه "Aku berusaha keras untuk melayani dan
taat kepadanya, kecuali pada perkara yang tidak aku mampui". Nabi
berkata, فانظري أين أنت منه ؟ فإنما هو جنتك ونارك "Lihatlah bagaimana
engkau di sisinya, sesungguhnya suamimu itu surgamu dan nerakamu"
(Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan Al-Albani)
Jika seorang wanita telah menikah maka surganya telah berpindah dari telapak kaki ibunya ke telapak kaki suaminya.
Akan tetapi kita bertanya kepada sang suami, apakah dia telah
menunaikan seluruh tugas dan kewajibannya sebagai suami?
, apakah dia
sendiri adalah seorang suami yang sholeh dan berakhlak mulia? Apakah dia
telah menunaikan hak-hak istrinya tersebut??
Kalau jawabannya adalah : "IYA", maka jelas dia berhak untuk menuntut istrinya dengan kata-kata di atas.
Akan
tetapi jika jawabannya : "TIDAK", atau mungkin sang suami malu-malu
untuk mengatakan tidak, sehingga dirubah jawabannya menjadi : "BELUM",
maka….sungguh sang suami ternyata hanya bisa menuntut.
Hendaknya sebelum dia menuntut dia bercermin terlebih dahulu…
Sebelum
dia menununtut agar istrinya senantiasa berpenampilan ayu, apakah sang
suami juga telah menjaga penampilannya dihadapan istrinya…??
Ataukah hanya menjaga penampilannya tatkala berhadapan dengan para sahabatnya??
Bukankah Allah berfirman
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. (QS Al Baqarah 228)
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَيْلٌ
لِلْمُطَفِّفِينَ (١)الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ
يَسْتَوْفُونَ (٢)وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣)أَلا
يَظُنُّ أُولَئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ (٤)لِيَوْمٍ عَظِيمٍ (٥)يَوْمَ
يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (٦)
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
4. tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan,
5. pada suatu hari yang besar,
6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
"Permisalan
ini yang Allah buat tentang ukuran dan timbangan adalah sebuah
permisalan, dan permisalan ini bisa diqiaskan kepada perkara-perkara
yang serupa dengannya. Setiap orang yang menuntut hak-haknya secara
sempurna akan tetapi menunaikan tugasnya (tidak menunaikan hak orang
lain) maka ia juga termasuk dalam ayat yang mulia ini.
Sebagai
contoh seorang suami yang ingin agar istrinya menunaikan hak-haknya
secara sempurna, dan agar sang istri perhatian dan tidak meremehkan
hak-hak sang suami, akan tetapi sang suami sendiri meremehkan hak-hak
istrinya, tidak memberikan hak-hak istrinya. Sungguh betapa banyak istri
yang mengeluh dan mengadukan suami-suami yang semacam ini modelnya…
Demikian
juga kita dapati sebagian orang menuntut agar anak-anaknya melaksanakan
kewajibannya dengan sempurna sebagai anak terhadap orang tua, akan
tetapi sang orang tua tidak menunaikan hak anak-anaknya dengan baik.
Sang orang tua ingin agar anak-anaknya berbakti kepadanya dan
melaksanakan tugas mereka sebagai anak di hadapan orang tua mereka, akan
tetapi dia sang orang tua itu sendiri tidak memperhatikan anak-anaknya
dengan baik, tidak menunaikan kewajibannya sebagai orang tua terhadap
anak-anak. Orang yang seperti ini kita katakana juga sebagai Muthoffif
(orang yang curang)" (lihat tafsir juz 'amma)
Sebagaimana ayat ini
merupakan ancaman keras yang berupa kecelakaan bagi para suami yang
tidak menuaikan hak istri-istri mereka, demikian juga sebaliknya
merupakan ancaman keras kepada para istri yang hanya bisa banyak
menunutut kepada suami-suami mereka sementara mereka lupa untuk
menunaikan hak-hak suami mereka yang sangat agung.
Sebagaimana
perkataan Syaikh Utsaimin rahimahullah diatas bahwa yang termasuk dalam
ayat ini adalah semua orang yang hanya bisa menuntut haknya namun tidak
mau melaksanakan kewajibannya, dan tidak mau menunaikan hak orang lain.
Kita
dapati betapa banyak masyarakat yang menuntut agar negara bisa
memberikan pelayanan dan fasilitas yang terbaik bagi masyarakat, bahkan
hampir setiap kerusuhan dan kekacauan disandarkan kepada Negara –dan
kita tidak tahu hakekat penyebab yang sebenarnya-, akan tetapi yang
menjadi pertanyaan :"Apakah masyarakat para penuntut tersebut sudah
melaksanakan keweajiban mereka sebagai warga Negara yang baik?, apakah
mereka sudah menuaikan hak Negara (penguasa) dengan baik…??
Memang
benar…, menuntut itu merupakan perkara yang mudah, anak kecilpun bisa
melakukannya. Akan tetapi melaksanakan kewajiban dan menunaikan hak
orang lain merupakan perkara yang tidak semudah dibayangkan. Semoga
Allah tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang curang yang
terancam dengan kecelakaan. Aaamiiin
http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/18-jangan-hanya-bisa-menunutut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar